Kutinggalkan Kenangan Penuh Kesan di 3 Kota Ini

Daftar Isi
Sejak kecil saya bukan tipe anak yang 'mbok-mboken'. Beberapa kali dititipkan atau ikut saudara keluar kota tanpa ditemani Bapak dan Ibu pun ga masalah. Bukan seperti my baby sister alias adikku (bukan baby sitter lho) yang selalu nempel di ketiak ibu bahkan hingga kuliah masih sering diantar kemana-mana.

Sifat mandiri dan cuek sejak dulu itulah yang saya kira akan membawa saya jadi petualang. Tapi kenyataan berkata lain. Hingga detik ini saya ga pernah pergi dari Pulau Jawa, paling banter ke Bali itupun sudah terlalu lama waktu piknik SMA.

Entah magnet apa yang nempel di badan atau dulu terlalu malas bergerak, tapi sebelum menikah saya stuck di 3 kota ini. Kota yang penuh kenangan dengan rasa nano-nano.

1. Purwokerto
credit mgriyahotel.com

Setelah tamat kuliah dan sempat bekerja di toko Komputer di Semarang dengan gaji yang mengenaskan, saya pun memutuskan pulang kampung ke Cilacap. Melamar kesana kemari di kota seperti Cilacap tentu ga mudah, jadi saya disarankan ikut sementara ngekos bareng adek yang lagi kuliah di Purwokerto.

Saat itu saya sedang dalam kondisi patah hari parah *yaelah 😂, meski di Purwokerto tapi pikiran tetap ada di Semarang. Di kota Satria ini pun saya mengirim lamaran ke berbagai lowongan pekerjaan dari koran dan mengikuti bazar job seeker. Tapi sayang hasilnya nihil.

Satu-satunya pekerjaan yang saya dapatkan hanyalah jadi partimer input data yang entah deh sekarang udah lupa dari instansi apa. Kalau ga salah waktu itu tentang pemberian kompor gas dalam rangka konversi minyak tanah ke gas melon.

Karena tidak betah, saya pun menentang keputusan orangtua untuk tetap di Purwokerto dan kembali ke Semarang. Anehnya baru beberapa minggu saya langsung dapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta yang berlokasi di jalan Pamularsih, Semarang.

Andaikan saat itu ngga lagi galau mungkin tinggal dan bekerja di Purwokerto asyik juga, apalagi biaya hidup di sana tergolong murah dan meski kota kecil, Purwokerto punya tempat wisata dan pusat perbelanjaan yang cukup banyak lho.


2. Blora
credit tribunnews.com

Nyambung dari kisah hidup di paragraf atas ya. Kan ceritanya saya dapat kerja saat balik Semarang. Tapi ternyata setelah wawancara dengan user alias calon atasan langsung, apesnya saya harus ditempatkan di Blora.

Sama sekali ga terbayang Blora itu dimana, kaya apa, ada mall ga di sana, nanti tinggal di rumah siapa. Pokoknya ngeblank! Bahkan pas nanya ke teman-teman ga ada satupun yang tahu Blora itu ada di peta Indonesia apa ngga #koplak.

Pikiran udah kadung mentok akhirnya saya iyakan penempatan di Blora. Dan kota yang sangat gersang ini ternyata penduduknya masih tipikal orang Indonesia, yaitu ramah dan baik. Saya ga mau kos jauh dari kantor jadi ambil kos persis di seberang saya cari nafkah tiap hari.

Bapak dan Ibu kos yang kehilangan anak satu-satunya karena kecelakaan itu meski sudah sepuh tapi sangat perhatian. Hampir tiap hari si ibu membawakan bekal yang lezat dan nasi yang banyak, mungkin takut saya kelaparan karena sering pulang malam. Dikiranya saya kerja terus padahal setelah jam kerja usai, bos saya yang masih bujang sering ngajak kencan makan malam bareng. Jangan bayangkan candlelight dinner ya, tapi si bos minta ditemani makan penyet di dekat Klenteng Hok Tik Bio Blora. Saking seringnya kami berdua makan disini, ibu penjual sampai mengira kami suami istri. Padahal saya dan si bos ga pernah mesra-mesraan apalagi suap-suapan #duh. Kami ya sembari makan pasti lah ngobrol ngalor ngidul tapi semuanya masih di batas koridor.

Kembali ke soal kondisi Blora, yang bikin sedih adalah sering sulit air. Banyak yang berprofesi sebagai petani dan peternak sapi, tapi sawah mereka kekeringan bahkan tanahnya sampai retak-retak parah. Dan sapi-sapi di Blora ga kalah nelongso karena seperti kurang gizi.

Eh iya, soal mall, waktu itu ada 1 pusat perbelanjaan. Yang kalau tanggal muda lumayan ramai. Biasanya saya belanja setelah tanggal gajian dan diantar oleh OB kantor.

Jodoh saya dengan Blora hanya sebentar, sekitar 3 bulan saja, kemudian karena perampingan biaya operasional kantor, saya pun dipindahkan ke Kudus.

3. Kudus
credit radiosuarakudus.com

Seperti mulai dari awal lagi, di Kudus saya juga meraba-raba kondisi. Kota yang terkenal akan kreteknya ini jauh lebih ramai dari Blora. Katanya di Kudus jarang ada pemadaman listrik karena orang terkaya di Indonesia dan percetakan uang rupiah ada di Kudus. Tapi kenyataannya memang jarang mati lampu, eh mati listrik. Kalaupun iya ga sampai berjam-jam.

Soal kos, lagi-lagi saya dapat yang seperlemparan cawet koin dari kantor. Ibu kos pun juga baik dan ga pelit. Di kos yang campur cowo dan cewek ini saya bertemu orang-orang dari berbagai profesi. Kadang kami keluar makan bareng, atau beli sate bareng lalu dimakan sambil nggosip di ruang tivi.

Pada awalnya kuliner Kudus terasa aneh di lidah, seperti sate kerbau dan lentog Tanjung. Tapi karena beberapa kali mencoba ya akhirnya lama kelamaan cukup familiar. Bahkan sekarang saya sering kangen Soto Kudus dan Garang Asem yang asli.


Inilah 3 kota yang meninggalkan banyak kenangan di dalam kehidupan masa laluku. Benar-benar bersyukur meski jauh dari orang tua tapi saat itu dipertemukan dengan orang-orang baik dan tulus.

Kalau teman-teman ada cerita kenangan di Kota apa?

Posting Komentar

Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Intellifluence Herd Worth Value: $97 Intellifluence Trusted Blogger Link Banner Link Banner Link Banner Seedbacklink